waspadailah fitnah sururiyyah

Waspadailah Fitnah Sururiyyah !!

Pertarungan antara kebenaran dan kebatilan terus berlanjut hingga hari kiamat, masing-masing dari kebenaran dan kebatilan memiliki penyeru dan pembela. Penyeru kebenaran berusaha menyelamatkan umat dan membawanya ke jalan yang lurus agar mendapatkan kebahagiaan di dunia dan akhirat, sedangkan penyeru kebatilan berusaha menyesatkan dan merusak umat agar mereka celaka.
Merupakan hal yang menakjubkan bahwa penyeru kebatilan menampakkan diri kepada umat bahwa mereka adalah du’at Salafiyyin untuk mengelabui umat sehingga mengikuti pemikiran-pemikiran mereka dan menganggap baik manhaj mereka.
Mereka gunakan perkataan-perkataan yang mujmal (global) dan samar yang mengandung seribu makna, tercampur di dalamnya yang haq dan batil. Inilah cara-cara ahlu bid’ah dari masa ke masa sebagaimana dijelaskan oleh Al-Imam Ibnul Qayyim, karena suatu bid’ah jika berupa kebatilan yang murni maka tidak mungkin di terima oleh manusia, setiap orang akan bersegera membantah dan mengingkarinya. Seandainya bid’ah itu kebenaran yang murni maka itu bukanlah merupakan bid’ah, tetapi adalah sunnah. Maka bid’ah tersebar di kalangan manusia awam karena mengandung kebenaran dan kebatilan. Di antara kelompok yang sangat lihai mengelabui umat dengan kalimat-kalimat yang sangat mujmal dan samar adalah kelompok sururiyyah. Kelompok ini lebih berbahaya di bandingkan kelompok sesat lainnya karena lebih sulit dideteksi kesesatannya, tetapi Allah tidak membiarkan gerakan mereka, Allah siapkan pasukan-pasukanNya dari para pembela Sunnah untuk membeberkan kepada umat makar-makar dan membuka kedok-kedok mereka.
Dalam bahasan ini kami meminta taufik kepada Allah untuk menukil sedikit dari penjelasan para ulama tentang keadaan mereka dengan harapan bisa ikut menyumbangkan saham dalam membentengi umat dari kejahatan mereka.
Organisasi Kelompok Sururiyah
Kelompok ini dimotori Muhammad Surur bin Nayif Zainal Abidin, pendiri yayasan Muntada Al-Islami yang berpusat di london Inggris. Dia juga pendiri dari redaktur majalah As-Sunnah Al-Britaniyyah dan majalah Al-Bayan bersama Muhammad Al-Abduh, Muhammad Mis’ary dan kawan-kawannya. Muhammad Surur adalah kelompok yang masyhur dengan penyimpangan dan permusuhan mereka kepada para ulama salaf di dalam majalah mereka yang terbit dari London dan dalam tulisan-tulisan mereka.
Kelompok ini merupakan jamaah yang terorganisir rapi sebagaimana di katakan Muhammad Surur kepada Syaikh Al-’Allamah Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i, “Kami tidak menyembunyikan kepada kalian bahwa kami adalah sebuah jamaah, kami loyal kepada setiap muslim dan kami tidak taa’shshub.” (Risalah Syaikh Muqbil kepada Syaikh Abdullah bin Ubailan sebagaimana dalam kitab Al-Quthbiyyah cet. 2 hal. 158).
Tujuan Utama Kelompok Sururiyyah
Tujuan utama kelompok sururiyyah adalah mendirikan dan merebut kekuasaan dan mendirikan Khilafah Islamiyyah (negara islam), mereka berkata, “Gerakan-gerakan islam yang ada sekarang ini adalah seperti kumpulan pasukan yang mengumpulkan umat dengan perbedaan pemikiran-pemikirannya, untuk menanggulangi fitnah kekufuran… maka gerakan-gerakan islam ini adalah pengganti Daulah Islamiyyah…” (Madkhal Ila Tarsyid ‘Amal Islamy hal. 116 sebagaimana dalam Al-Quthbiyyah hal. 20).
Salman Al Audah berkata, “Daulah Khilafah berlangsung lebih dari 13 abad… adapun realita sekarang ini, maka sangat menyedihkan karena semua misal yang dipandang mata adalah misal-misal yang tidak Islami…” (kaset Ummah Ghaibah?! sebagaimana dalam Al-Quthbiyyah hal. 23).
Safar Al Hawaly berkata: “Kita sangat merindukan Afghanistan akan menjadi batu pertama bagi Daulah Islamiyyah…” (Syarh Thahawiyyah 266/2 sebagaimana dalam Al-Quthbiyyah hal. 23).
Referensi Kelompok Sururiyyah
Di samping majalah Al Bayan oleh Al Abduh dan majalah As-Sunnah Al-Britaniyyah oleh Surur, kelompok ini memiliki referensi-referensi yang diharuskan kepada pengikutnya untuk membacanya dengan urutan-urutan yang rapi dan seragam, di antara referensi-referensi mereka adalah, Kitab-kitab Sayyid Quthb seperti Fi Zhilalil Qur’an, ‘Adalah Ijmaiyyah, Ma’rakatul islam wa Ra’sumaliyyah, dan Ma’alim Fi Thariq, Mausu’ah Haraqiyyah oleh Fathi Yakan, Munthaliq, ‘Awaiq, dan Bawariq oleh Muhammad Ahmad Ar-Rasyid (nama samaran dari Abdul Mun’im bin Shalih Al-illy Al-’Izzy), Harakatun Nafs Zakiyyah oleh Muhammad Al-Abduh, Ahlussunnah wal Jamaah Ma’alim Inthilaqatil Kubra oleh Muhammad Abdul Hadi Al-Mishry, Jahiliyyah Abad 20 oleh Muhammad Quthb, Al-Islam Al-Hadits oleh Jamal Sulthan, Wa Ja’a Daurul Majus oleh Abdullah Muhammad Al Gharib (nama samaran dari Muhammad Surur bin Nayif Zainal Abidin!), Da’wah Islamiyyah Faridhan Syar’iyyah oleh Shadiq Amin (nama samaran dari Abdullah Azzam) dan masih banyak lagi yang senafas dengan kitab-kitab di atas.
Penyimpangan Kelompok Sururiyyah
Kelompok ini memiliki ciri-ciri khas, kesesatan dan penyimpangan dari manhaj yang lurus, manhaj Salafus Shalih. Di antara penyimpangan-penyimpangan mereka adalah berikut:
Pertama, kebencian mereka kepada kitab-kitab Aqidah. Muhammad Surur berkata, “Aku melihat kitab-kitab aqidah, ternyata kitab-kitab itu ditulis bukan pada zaman kita, kitab-kitab itu adalah solusi untuk beberapa problematika pada saat kitab-kitab itu di tulis, sedangkan zaman kita sekarang ini membutuhkan solusi-solusi yang baru, dari sinilah maka gaya bahasa dari kitab-kitab aqidah banyak yang kering, karena hanya terdiri dari nash-nash dan hukum-hukum…” (Manhajul Anbiya fi Da’wah Ilallah 1/8). Ucapan ini telah di bantah oleh para ulama seperti Syaikh Ibnu Baz, Al-Albani, Al-Fauzan, sebagaimana nanti akan kami sebutkan.
Kedua, kecenderungan mereka kepada pemikiran Khawarij. Hal ini nampak pada pemikiran takfirnya, yaitu mengafirkan seorang muslim dengan kemaksiatan yang dia lakukan, baik mereka itu penguasa maupun rakyat.
Adapun pengafirannya pada para penguasa muslim maka tampak jelas pada tulisan-tulisannya di majalah As-Sunnah Al-Britaniyyah yang terbit dari London Inggris. Adapun pengafirannya kepada kaum muslimin secara umum maka tampak pada perkataannya di kitabnya Manhajul Anbiya Fi Da’wah Ilallah 1/158, “Kaum Luth jika menerima ajakan Nabi mereka agar beriman kepada Allah dan meninggalkan kesyirikan maka hal itu tidaklah bermakna bagi mereka, jika mereka tidak meninggalkan kebiasaan buruk mereka dari mendatangi sesama jenis yang mereka sepakat melakukannya.”
Demikianlah Muhammad Surur mengafirkan pelaku dosa besar secara mutlak walaupun pelakunya tidak menghalalkannya. Ucapan di atas telah di bantah oleh Syaikh Dr. Shalih Fauzan bin Fauzan dalam kaset “Pentingnya Tauhid”. (Madarikun Nadzhar hal. 120 oleh Syaikh Abdul Malik Ramadhani).
Mereka juga membolehkan khuruj (memberontak) terhadap waliyyul amr dan juga menghalalkan provokasi dan agitasi terhadap pemerintah muslim sebagaimana dikatakan oleh Salman Al-Audah dalam kasetnya Humum Multazimah dan yang lainnya. (Untuk membantah syubhat ini lihat “Fitnah Takfir” oleh Syaikh Al-Albani yang dimuat dalam majalah Al-Furqon edisi 10 th. II hal. 36-41).
Ketiga, permusuhan mereka yang sangat kepada para ulama Salafiyyin. Muhammad Surur mengatakan tentang para ulama Salafiyyin di Saudi Arabia, “Mereka ini selalu membuat kedustaan, memata-matai, menulis ketetapan-ketetapan dan melakukan segala sesuatu yang diminta majikannya… dan jumlah mereka sedikit -walhamdulillah-, dan mereka adalah para penyelundup dalam dakwah dan aktivitas islam… walaupun mereka ini memanjangkan jenggotnya dan memendekkan celananya, dan menganggap diri mereka adalah para pembela sunnah…” (Majalah As-Sunnah Al-Britaniyyah edisi 23. bulan Dzulhijjah 1412 H, Hal 29-30).
Muhammad Mis’ary berkata, “Aku tidak pernah menyinggung aqidah Muhammad bin Abdul Wahhab, aku hanya menyebutkan kenyataan bahwa dia adalah seorang yang lugu dan bukan seorang Ulama!!!…”
Muhammad Mis’ary berkata, “Pendapatku pribadi bahwa Syaikh Ibnu Bazz telah sampai pada fase kerusakan akal karena usia tua… tetapi aku tidak melihat kufur bawwah (nyata) padanya…” (pernyataan Lajnah Difa’ ‘An Huquq Syar’iyyah, London kamis 22/10/1415 H bertepatan dengan 23/3/1995 M).
Salman Al-Audah menuduh para ulama saudi seperti Syaikh bin Baz dan Syaikh Al-Utsaimin bukanlah rujukan ilmiah yang shahih dan terpercaya. (Majalah Al-Ishlah Al-Imaratiyyah edisi 223-228/ 1-3/12/1992 hal. 11).
Safar Al-Hawaly menuduh para ulama Saudi Seperti Syaikh Ibnu Baz dan Syaikh Utsaimin tidak mengerti waqi’ (Realita umat) (kaset Fafirru II).
Abdurrahman Abdul Khaliq mengatakan bahwa Syaikh Al-Allamah Al-Mufassir Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithy adalah perpustakaan yang berjalan tetapi sudah usang cetakannya sehingga perlu direvisi! (Khuthuth Raisiyyah Liba’tsil Ummah Islamiyyah hal. 78 sebagaimana dalam jama’ah wahidah hal. 41 oleh Syaikhuna Al-Allamah Rabi’ bin Hadi Al Madkhali). Abdurrahman Abdul Khaliq mengatakan bahwa ulama Salafiyyin adalah ulama haidh dan nifas. (Khuthuth Raisiyyah Liba’tsil Ummah Islamiyyah hal. 40).
Sungguh alangkah kotornya ucapan yang keluar dari mulut-mulut mereka. Ingatlah wahai saudaraku bahwa mencela ulama termasuk tanda-tanda Ahli Bid’ah dari dulu hingga sekarang (Lihat tulisan penulis “Urgensi Ilmu dan Ulama” dalam Majalah Al-Furqon edisi 6 th II).
Keempat, loyalitas Mereka kepada Ahli Bid’ah Dan musuh-musuh Islam. Mereka memuji dan mengelu-elukan Hasan At-Turabi As-Sudani, penentang hadits Rasulullah, demikian juga Ayatusy Syiah Khomeini Ar-Rafidhi Al Mal’un (yang terlaknat-red) mereka katakan sebagai imam dan tokoh sejarah yang agung dan jenius. (pernyataan resmi Lajnah Difa’ ‘An Huquq Syar’iyyah, London, kamis 22/10/1415 bertepatan dengan 23/3/1995 M)
Kelima, celaan Mereka Kepada Para Sahabat. Muhammad Mis’ari berkata, “Aku menganggap Mu’awiyyah adalah perampas kekuasaan, dan dia akan mendapat balasan kejahatannya dari Allah pada hari kiamat, tetapi aku tidak mengafirkannya…” (Pernyataan resmi Lajnah Difa’ ‘An Huquq Syar’iyyah, London, kamis 22/10/1415 bertepatan dengan 23/3/1995 M). Dan masih banyak lagi penyimpangan-penyimpangan mereka dari manhaj yang lurus yang tidak bisa kita sampaikan di sini karena keterbatasan tempat, tetapi dari uraian singkat di atas Insya Allah bisa dinilai siapa mereka.
Keenam, hubungan kelompok sururiyyah dengan Sayyid Quthb. Membicarakan kelompok Sururiyyah tidak lepas dari Sayyid Quthb dan pemikiran-pemikirannya, karena tokoh-tokoh kelompok Sururiyyah adalah para pemuja, pembela Sayyid Quthb dan pemikiran-pemikirannya, sebagaimana dikatakan oleh Muhammad Surur dalam kitabnya Dirasat fi Shirah Nabawiyyah hal. 321-323, “Sayyid Quthb dizalimi oleh dua kelompok manusia, dizalimi oleh sebagian murid-muridnya dan pengagumnya karena mereka sangat kagum kepadanya, kagum pada keteguhannya di atas kebenaran dan kesabarannya menerima ujian di jalan Allah, kagum dengan keluasan wawasannya kebersihan fitrahnya, dan kedalaman pengetahuannya dan kami menyertai mereka dalam ini semua… Adapun kelompok lain, maka mereka tidak menyebut Sayyid Quthb kecuali dari segi kesalahan-kesalahan ilmiahnya, ada yang mengatakan dia Asy’ari, ada yang menyebutkan dia adalah penyeru wihdatul wujud, dan ada lagi yang menyatakan dia adalah tergolong kelompok khawarij yang ghuluw. Tidaklah Sayyid Quthb seorang Asy’ari dan tidak juga seorang shufi, dia adalah seorang sastrawan murid dari para ahli sastra, ketika dia menempuh jalan para da’i dia mengubah haluan menulis ilmu-ilmu islam seperti tauhid, tafsir dan lain-lain. maka Allah memberi taufik kepadanya dari tulisan-tulisannya… Tidaklah Sayyid Quthb tergolong pengikut pemikiran khawarij… tidak juga termasuk kelompok Mu’tazilah…”
Kami katakan, Sayyid Quthb adalah seorang Asy’ary dia menafsirkan Istiwa dengan “kekuasaan” sebagaimana dalam tafsirnya Fi Dzilalil Qur’an (1/53, 1/54, 3/ 1296, 3/1762, 4/2045 dan 5/2807), dia juga penyeru kepada wihdatul wujud sebagaimana dalam perkataannya dalam tafsirnya Fi Dzilalil Qur’an 6/4002, “Dialah wujud yang satu, tidak ada di sana hakekat kecuali hakekatNya, tidak ada di sana wujud yang hakiki kecuali wujudNya…”
Sayyid Quthb juga seorang shufi sebagaimana dalam perkataannya dalam Fi Dzilalil Qur’an 6/3291, “Di sana ada orang yang beribadah kepada Allah karena mereka mensyukuri nikmat-nikmatNya yang tidak terhitung, tidak melihat di balik itu surga atau neraka…”
Sayyid Quthb juga penganut paham Khawarij yang mengafirkan masyarakat islam secara keseluruhan sebagaimana dikatakan oleh muridnya Dr. Yusuf Al-Qardhawy, “Pada fase ini muncullah kitab-kitab Asy Syahid(?!) Sayyid Quthb yang mewakili fase terakhir dari pemikirannya yang menghasilkan pengafiran masyarakat… dan pencanangan jihad ofensif kepada seluruh manusia.” (‘Aulawiyah Harakatul Islamiyyah hal. 110 dari perkataan Sayyid Quthb dalam masalah ini dalam dalam tafsirnya Fi Dzilalil Qur’an 2/1057).
Barang siapa yang ingin mengenal lebih lanjut pemikiran-pemikiran Sayyid Quthb untuk membentengi diri kita darinya, hendaklah membaca kitab Mauriduz Zilal fi Akhto’i Dhilal oleh Syaikh Abdullah Ad-Duwaisi, dan beberapa kitab Syaikhuna Al-Allamah Rabi’ Al-Madkholi seperti Adhwa’ Islamiyyah ‘ala Aqidati Sayyid Quthb wa Fikrihi, Matha’in Sayyid Quthb fi Ashaabi Rasulillah, dan Al-’Awashim Mimma Fi Quthb Minal Qowasim. Di sana akan tampak bahwa dia mencela Sahabat Nabi Musa, mencela para sahabat, mengatakan bahwa Al Quran adalah makhluk, menganut paham hulul dan jabariyyah, menolak sifat-sifat Allah dengan menempuh cara-cara jahmiyyah, menolak hadits-hadits shahih dalam masalah aqidah, mengimani paham sosialisme dan lain-lain…
Setelah ini semua, pantaskah ia di puja, dan di jadikan imam?! Demi Allah tidak, kecuali seorang yang hati dan akalnya telah terbakar oleh kultus individu dan fanatis buta, seperti tokoh-tokoh kelompok sururiyyah seperti Muhammad Surur dalam beberapa perkataannya di atas, Muhammad Shalih Al Munajjid dalam risalahnya Arba’una Nashihatan Liislahil Buyut hal. 23-25, Aidh Al-Qarni dalam kitabnya Lahnul Khulud hal.20, Salman Al-Audah dalam kasetnya Taqwimmul Rijal, dan masih banyak lagi dari kalangan mereka. Karena inilah maka kelompok Sururiyyah tidak ada bedanya dengan kelompok Quthbiyyah (penganut pemikiran Sayyid Quthb) yang lainnya seperti Ikhwanul Muslimin dan jamaah-jamaah takfir yang lain. (Diambil dari majalah Al-Furqon edisi 2 tahun IV Ramadhan 1425 H).
Sarana-Sarana Sururiyyah
Kelompok ini memiliki tiga sarana utama untuk melariskan pemikiran mereka, tiga sarana ini adalah:
Pertama, Manhaj Muwazanah, yaitu manhaj yang mengharuskan bagi siapa saja yang mengkritik kesalahan person, tulisan ataupun kelompok untuk menyebutkan kebaikan dan kejelekannya secara bersamaan, karena ini adalah sikap yang adil menurut mereka. (Masalah ini telah kami bahas dalam Majalah Al-Furqon edisi 8 th. III hal 29-30 dengan judul “Ketimpangan Manhaj Muwazanah”).
Kedua, Fikih Waqi’, yaitu fikih politik barat, dan memahami program rahasia mereka terhadap islam dan kaum muslimin. Tujuan pencetusan fikih waqi’ ini adalah mengangkat orang-orang barisan mereka ke barisan para ulama dan sekaligus merendahkan citra para ulama dengan slogan ini, yakni para ulama tersebut tidak memahami waqi’ (Masalah ini juga telah kami bahas dalam majalah Al-Furqon Edisi 10 th. III hal. 22-26 dengan judul “Fiqh Waqi/pemahaman Realita”).
Ketiga, tatsabut, yaitu mengelabui umat bahwa mereka adalah orang-orang yang selalu meneliti dengan cermat semua berita-berita yang sampai, dengan cara ini mereka melariskan pemikiran-pemikiran mereka dan menghindar dari segala macam bantahan dan kritikan kepada mereka. Sarana ini digunakan mereka sebagai senjata pembelaan dan sekaligus senjata untuk menyerang, senjata untuk membela pemikiran-pemikiran, perkataan-perkataan, dan perbuatan-perbuatan mereka, dan sekaligus menyerang siapa saja yang mengkritik dan menjelaskan kesalahan mereka.
Semua sarana ini mereka suguhkan kepada umat dengan bentuk yang mujmal (global), dengan kalimat-kalimat samar yang mengandung kebenaran dan kebatilan, dengan kebatilan dari kalimat-kalimat ini mereka hantam kebenaran, inilah cara-cara ahli bid’ah dari masa ke masa sebagaimana di jelaskan oleh Al-Imam Ibnul Qayyim dalam kitabnya Shawa’iq Mursalah 3/925, Allah telah melarang cara-cara seperti ini dalam kitab-Nya:
وَلاَ تَلْبِسُواْ الْحَقَّ بِالْبَاطِلِ وَتَكْتُمُواْ الْحَقَّ وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ
“Dan jangan kalian campur adukkan yang haq dengan yang batil dan janganlah kalian sembunyikan yang haq itu, sedang kalian mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 42)
Karena inilah -wahai saudara-saudaraku- waspadalah dan hati-hatilah terhadap kelompok sururiyyah ini! mereka adalah kelompok yang menyebarkan kebatilan dengan cara terselubung, mereka tidak segan-segan menerbitkan dan mencetak kitab-kitab ulama salafiyyin dan membagi-bagikannya pada acara-acara mereka, tetapi dengan menyelipkan dan membagikan bersamanya tulisan gembong-gembong mereka, dengan cara itu mereka kelabui umat bahwa pemikiran-pemikiran gembong-gembong mereka adalah sama dengan pemikiran-pemikiran ulama-ulama Salafiyyin. (Al-Quthbiyyah hal. 158).
Mereka mengerahkan segala upaya untuk mengelabui tokoh-tokoh salafiyyin sehingga bergabung dengan mereka, sebagaimana hal ini terjadi pada Fadhilatusy Syaikh Abdullah bin Jibrin yang sempat mereka tarik dalam Jam’iyyah mereka yang bernama Lajnah Difa’ ‘An Huquq Syar’iyyah, tetapi hal ini tidak berlangsung lama -walhamdulillah- beliau segera mengumumkan bahwa beliau berlepas diri dari mereka sebagaimana dalam fatwa beliau pada tanggal 23 Rabi’ul Awal 1415 H.
Waspadalah wahai para du’at salafiyyin terhadap mereka, mereka berusaha dengan segala cara untuk menarik kalian dalam barisan mereka, untuk mengelabui umat bahwa mereka adalah salafiyyin bukan quthbiyyin!!
Kontradiksi Perkataan dan Sikap Kelompok Sururiyyah
Kelompok Sururiyyah adalah para “da’i politik”, maka perkataan-perkataan dan sikap-sikap mereka penuh kontradiksi sebagaimana para politikus pada umumnya, di antara kontradiksi mereka adalah:
  1. Mereka melarang pemerintah Saudi Arabia meminta-minta bantuan orang-orang musyrik untuk menahan kebrutalan Saddam Husein, kemudian mereka mengatakan boleh meminta bantuan kepada kaum Rafidhah dan komunis untuk menahan Kabul dari serangan Amerika!!!
  2. Mereka melarang orang-orang Kuwait meminta bantuan orang-orang musyrik untuk mengusir dan mengeluarkan Saddam Husein yang menduduki Kuwait, kemudian mereka membolehkan diri-diri mereka meminta suaka politik ke negeri kafir, bahkan kemudian bermukim di negeri kafir, bahkan dengan resmi menjadi warga negara kafir!
  3. Mereka menyerukan keadilan terhadap semua makhluk, termasuk kaum komunis dan syaitan, dan mewajibkan untuk menyebutkan kebaikan dan keburukan mereka, tetapi hal ini tidak mereka lakukan terhadap para ulama-ulama Salafiyin yang berseberangan dengan mereka, mereka cela para ulama Salafiyin dan mereka juluki dengan julukan-julukan yang keji.
Komentar Para Ulama Tentang Kelompok Sururiyyah
Komentar Samahatusy Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz:
Ketika di sebutkan kepada Samahatusy Syaikh perkataan Muhammad Surur dalam kitabnya Manhajul ‘Anbiya fid Da’wah Ilallah 1/8 di atas beliau berkomentar: “Ini adalah kesalahan yang besar… kitab-kitab aqidah yang benar bukanlah kering, di dalamnya Firman Allah dan sabda Rasulullah… jika dia mensifati Al Quran dan As-Sunnah bahwa keduanya kering maka ini adalah kemurtadan dari Islam, ini adalah ungkapan yang rusak dan keji.”
Dan beliau ditanya tentang hukum menjual kitabnya, maka beliau menjawab: “Kalau pada kitab tersebut ada ucapan ini maka tidak boleh dijual dan wajib dirobek.” (Dari kaset muhadharah berjudul Afatul Lisan di kota Thaif tanggal 29/12/1413 sebagaimana dalam Ajwibah Mufidah hal. 57).
Samahatusy Syaikh Abdul Aziz bin Baz mengomentari Muhammad Mis’ari, juru bicara resmi mereka: “…termasuk orang-orang dengki dan jahil yang menjual agama dan amanahnya kepada Syaitan seperti Muhammad Mis’ary.” (Koran Al-Muslimun edisi 543 tanggal 2 shafar 1416 H sebagaimana dalam Madarikun Nadhar hal 218).
Komentar Al-Muhaddits Muhammad Nashiruddin Al-Albani:
Ketika disebutkan kepada beliau perkataan Muhammad Surur dalam kitabnya Manhajul Anbiya’ fid Da’wah Ilallah 1/8 di atas beliau berkomentar: “Adakah seorang muslim mengucapkan ucapan seperti ini?” (Al-Maqalat As-Salafiyyah hal. 25 oleh Syaikh Salim al-Hilaly).
Komentar Syaikh Al-Allamah Shalih bin Fauzan Al-Fauzan:
Ketika disebutkan kepada Fadhilatus Syaikh perkataan Muhammad Surur dalam kitabnya Manhajul Anbiya’ fid Da’wah Ilallah 1/8 di atas beliau berkomentar: “Orang ini -Muhammad Surur- hendak menyesatkan para pemuda islam dengan perkataannya ini, memalingkan mereka dari kitab-kitab aqidah yang shahihah dan dari kitab-kitab salaf, dan dia arahkan para pemuda islam kepada pemikiran-pemikiran baru, dan kitab-kitab baru yang banyak mengandung syubhat-syubhat.
Kitab-kitab aqidah menurut Muhammad Surur kelemahannya adalah karena terdiri dari nash-nash dan hukum-hukum, di dalamnya ada perkataan Allah dan perkataan Rasulullah, sedangkan dia menginginkan pemikiran fulan dan fulan, dan tidak ingin nash-nash dan hukum-hukum. Maka wajib atas kalian -kaum muslimin- mewaspadai selundupan-selundupan pemikiran batil ini, yang bertujuan memalingkan para pemuda kita dari kitab-kitab salaf yang shalih.
Alhamdulillah kita telah cukup dengan peninggalan-peninggalan Salafusalih seperti kitab-kitab aqidah, dan kitab-kitab dakwah, bukan dengan gaya bahasa yang kering -seperti disangka oleh Muhammad Surur-, bahkan dengan gaya bahasa yang ilmiah dari Kitabullah dan dari Sunnah Rasul-Nya, seperti Shahih Bukhari, Shahih Muslim, dan kitab-kitab hadits yang lainnya, kemudian kitab-kitab sunan, seperti kitab As-Sunnah oleh Ibnu Abi Ashim, Asy-Syari’ah oleh Al-Aajury, As-Sunnah oleh Abdullah bin Al-Imam Ahmad, kitab-kitab Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan muridnya Ibnul Qayyim, dan kitab-kitab Syaikhul Islam Al-Mujaddid Muhammad bin Abdul Wahhab. Wajib atas kalian untuk mengmbil dari kitab-kitab ini. Maka aqidah tidak boleh diambil kecuali dari nash-nash kitab dan Sunnah, bukan dari pemikiran fulan dan fulan.” (Ajwibah Mufidah ‘an As’ilatil Manahijil Jadidah hal. 55-56).
Komentar Syaikhuna Al Allamah Abdul Muhsin bin Hamd Al-Abbad:
Beliau berkata mensifati Muhammad Surur: “Orang yang dengki terhadap ulama ahli sunnah.” Beliau juga mengomentari Muhammad Mis’ari: “Dia adalah seorang yang begitu sangat kedengkiannya, tidak punya hubungan sama sekali dengan ilmu syar’i dan fikih agama, lari ke ibukota penjajah… semoga Allah merahmati Al-Imam Ath-Thahawi yang mengatakan: ‘dan ulama salaf yang terdahulu dan pengikut-pengikut mereka sesudahnya -ahli khabar dan atsar, dan ahli fiqih dan nadhar- tidak boleh disebut melainkan dengan kebaikan, dan barang siapa yang menyebut mereka dengan kejelekan maka tidaklah dia di atas jalan yang lurus…’” (Pengantar terhadap kitab Madarikun Nazhar fi Siyasah oleh Syaikh Abdul Malik Ramadhan Al Jazairi).
Penutup
Pada akhir bahasan ini kami berdoa kepada Allah agar menunjukkan dan membawa kita semua ke jalan yang dicintai dan diridhoi-Nya, dan hendaknya kita semua menyadari bahwa Allah telah memberikan nikmat yang sangat agung kepada kita yaitu ulama Salafiyin yang memiliki keteguhan langkah dalam menempuh manhaj salafush shalih.
Maka wajib bagi umat secara umum dan para pemuda islam secara khusus untuk menimba ilmu dari para ulama Salafiyin, beramal sesuai dengan amalan mereka, beradab seperti adab mereka, menjaga kehormatan mereka, dan menempatkan mereka sesuai dengan kedudukan mereka yang agung.
Wajib atas setiap muslim untuk taat kepada para pemimpin dalam ketaatan kepada Allah, menasihati mereka dengan cara-cara yang syar’i, dan berusaha untuk mempersatukan kaum muslimin di bawah panji-panji mereka untuk menempuh jalan yang lurus.
Wajib bagi kita semua untuk berpegang teguh dengan manhaj salafush shalih, jangan sampai kita berpaling dari jalan yang lurus sehingga mengalami kerugian yang besar di dunia dan akhirat, karena keshalihan manhaj menentukan tempat seseorang di surga atau neraka sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Al-Allamah Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan: “Keshalihan manhaj menentukan tempat seseorang di surga atau di neraka, jika dia mengikuti manhaj Rasulullah dan manhaj salafus shalih maka dia akan menjadi penghuni surga biidznillah, dan jika dia berada pada manhaj yang sesat maka dia diancam dengan neraka.” (Al-Ajwibah Mufidah hal. 77).
(sumber: Majalah Al Furqon, Gresik)
***
Penulis: Ustadz Arif Fathul Ulum bin Ahmad Syaifullah

PAHAM DAN PRINSIP SURURI

Oleh: Syaikh DR Muhammad Musa Alu Nashr
Pertanyaan
Syaikh DR Muhammad Musa Alu Nashr ditanya : Kita mengetahui kebenaran dan keorisinilan dakwah salafiyyah, namun yang disayangkan datang pengkaburan dan kekacauan yang didalangi oleh orang-orang Sururi, yang kutanyakan adalah apa itu paham Sururi dan bagaimanaa kaedah dan prinsip mereka agar dapat diketahui dan kita dapat meghukumi seseorang dengan kaedah ini ?
Jawaban
Sururiyyah adalah jamaah Hizbiyyah yang muncul pada tahun belakangan ini, dia tidak diketahui kecuali seperempat abad belakangan ini, karena mereka selalu bersembunyi dibalik salafiyyah hingga sekarang.
Sebenarnya mereka memiliki kaedah dasar dari Ikhwanul muslimin yang selalu berdiri diatas sirriyah (gerakan bawah tanah) membangkitkan massa untuk gerakan politik dengan mempengaruhi mereka,mencemoohkan dan meremehkan ulama Rabbani seperti Syeikh Albani, Ibn Baaz, dan Utsaimin Mereka mengganggap mereka sebagai Ulama yang hanya tahu perkara-perkara haid dan nifas.
Gerakan ini muncul kepermukaan dalam bentuk kritikan yang menyakitkan setelah Perang Teluk kedua. Mereka menggangap para ulama kita tidak paham dengan waqi (realita umat), pemahaman mereka sebatas hukum haid dan nifas . Mereka telah meniru para Ahli Bid’ah klasik yang mengatakan :’Bahwa fikih Malik, Auza’i dan ulama-ulama lain tidak lepas dari sarung wanita”. Alangkah besarnya perkataan yang keluar dari mulut mereka , dan sesungguhnya mereka hanyalah mengatakan kedustaan. Yang tidak menghormati alim-ulama kami maka sebenarnya mereka adalah penyeru kepada fitnah. Orang-orang yang mencela Syeikh Albani, Ibn Baaz dan Utsaimin pada zaman ini adalah pembuat fitnah yang berada di jurang kebinasaan.
Mereka ingin memalingkan perhatian manusia kepada diri mereka dan menghalangi manusia dari para Ulama Rabbani.Mereka mengaku bermanhaj salaf walaupun sebenarnya mereka adalah Ikhwan, bahkan lebih bahaya dari Ikhwan sendiri sebab mereka selalu bersembunyi di balik salafiyyah.
Semoga Allah menunjuki kita dan mereka kejalan salaf yang bersih yaitu jalan yang dirintis Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam dan para sahabat dan tabiin.
KERJA SAMA DAKWAH DENGAN AHLI BID’AH
Pertanyaan
Syaikh DR Muhammad Musa Alu Nashr ditanya : Apa hukum meyebarkan dakwah Salafiyyah dengan menjalin kerja sama terhadap kelompok ahli bid’ah?
Jawaban
Sikap Ahlu Sunnah terhadap Ahlu bid’ah adalah mentahzir, mengingkari, membantah dan tidak wala (loyal) kepada mereka apalagi jika bid’ah yang mereka perbuat bid’ah dalam aqidah yang menjerumuskannya kepada kekufuran dan kemusyrikan. Jika bid’ah ini bid’ah dalam manhaj, seorang muslim salafi harus mengamalkan ayat yang berbunyai :”Orang-orang yang tidak menyaksikan kebohongan”, dan firmanNya :” Jika mereka mendengar perkataan yang sia-sia mereka berpaling darinya, mereka berkata : “Amal kami untuk kami dan amal kalian untuk kalian dan kami tidak mau kepada orang-orang yang jahil”.
Jika dia bertemu seorang pelaku bid’ah dia akan mengingkarinya dan mengajarkan kepadanya tentang kekeliruannya, jika dia mau diperbaiki maka alhamdulillah inilah sebenarnya yang diinginkannya, dan jika ternyata tetap pada bid’ahnya maka wajib ditinggalkan, diboikot dan tidak boleh berwala kepadanya, tetapi wajib untuk bara kepadanya.
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda : “Sekokoh-kokohnya ikatan keimanan adalah cinta karena Allah dan benci karena Allah”.
Namun jika ternyata yang berbuat bid’ah ini seorang muslim yang shalih dan selalu untuk ittiba (mengikuti sunnah) maka jangan dikatakan dia ahlu bid’ah, karena bukan semua orang yang tergelincir kedalam perbuatan bid’ah digolongkan kepada Ahlu bid’ah, sebab prilaku ini bukanlah menjadi ciri dirinya kecuali jika memang perbuatan ini menjadi syiarnya kelak; menjadi bagian dari prilakunya yang dipertahankan dan dibelanya, bahkan sampai kepada tingkat wala dan bara’ nya diatas perbuatan bid’ah tersebut; sombong dan tidak menerima nasehat; menjadikan bid’ahnya seolah-olah bagian dari agama, dalam kondisi seperti ini dia dihukumi sebagai ahlu bid’ah dan wajib ditinggalkan bahkan ditahzir. Wallahu A’alam

METODE DAKWAH SALAFIYYAH

Dakwah Salafiyyah (Seharusnya) Merupakan Dakwah Penuh Kasih


Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِّلْعَالَمِينَ
“Dan tidaklah kami mengutus kamu (wahai Muhammad) melainkan sebagai rahmat (kasih) bagi semesta alam.” (QS. Al-Anbiyā`: 107)
Coba perhatikan siyāq ayat tersebut, eksistensi Nabi shalallahu ‘alaihi wasallalm bukan hanya sbg rahmat bagi kaum muslimin saja, namun sebagai rahmat bagi seluruh manusia, bahkan seluruh alam semesta, termasuk musuh sekalipun. Karena itu, ajaran beliau adalah ajaran kasih. Din al-Islam adalah rahmat. Hal ini tidak mungkin dipungkiri seorang muslim.
Ahlus Sunnah sebagai pembawa dan penerus terbaik ajaran Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam sudah seharusnya memiliki sifat tersebut, sifat merahmati (mengasihi) dan menyebarkan rahmat (kasih). Ahlus Sunnah, adalah sebagaimana disifati oleh Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah dalam ucapan emasnya: a’lamu bil haqq wa arhamu bil khalq (paling mengetahui al-haqq dan paling kasih terhadap makhluk). [Minhāj as-Sunnah, vol. V, hal. 158]

Lantas, bagaimana dengan wajah Dakwah Salafiyyah, yang (seharusnya) merupakan sinonim dari Dakwah Ahlus Sunnah, saat ini? Ternyata, tidak dapat dipungkiri telah terbentuk stigma dan opini publik yang negatif pada banyak kaum muslimin bahwa dakwah tersebut tidak humanis, kaku, berperangai keras, mudah menghujat, dan seterusnya.
Pembentukan bad image tersebut tidak lepas oleh dua faktor:
Pertama: Faktor Eksternal; yaitu isu dan propaganda yang dihembuskan oleh pihak-pihak yang tidak menyukai perkembangan Dakwah Salafiyyah, semisal JIL, Syi’ah, dan lain-lain.
Kedua: Faktor Internal; yaitu kesalahan implementasi Dakwah Salafiyyah yang dilakukan oleh orang-orang yang berafiliasi kepadanya. Hal ini merupakan realitas, ada dan nyata, yang tidak akan dipungkiri oleh orang-orang yang memiliki pemikiran objektif.
Mungkin dapat dikatakan bahwa penyebab utama dari terciptanya bad image dari faktor internal adalah terbentuknya paradigma bahwa seorang Ahlus Sunnah dituntut untuk bersikap keras kepada Ahl al-Bid’ah. Memang benar, terdapat banyak sekali atsar dan riwayat dari Salaf mengenai sikap keras kepada Ahl al-Bid’ah. Namun, pertanyaannya, siapakah yang pantas disebut Ahl al-Bid’ah? Bagaimana kriterianya? Apakah spirit yang melatarbelakangi sikap keras Salaf tersebut? Apakah sikap keras tersebut bersifat mutlak, tidak dapat diganggu gugat dan harus diimplementasikan dalam kondisi apapun, ataukah membutuhkan rincian, persyaratan dan penjelasan? Yang membuat keadaan menjadi runyam adalah munculnya mereka yang ’sok meniru’ sikap keras Salaf, tanpa merenungkan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan di atas.
Jika kita mengacu pada ayat al-Qur`an di atas, dan sangat banyak sekali dalil-dalil lain yang senada dengannya, kemudian ucapan Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah, maka dapat dikatakan bahwa sikap keras Salaf tersebut tidak keluar dari koridor semangat untuk menyebarkan kasih dan rahmat. Kasih sayang tidak selalu harus melahirkan sikap lemah lembut, dan dapat melahirkan sikap keras apabila memang kondisinya menuntut hal itu. Hal ini sebagaimana seorang ayah yang terkadang memarahi, menjewer, bahkan memukul anaknya, justru karena rasa kasihnya terhadap sang anak. Sebab sang ayah mengharap kebaikan bagi sang anak. Demikian pula dengan sikap keras Salaf terhadap Ahl al-Bid’ah. Hal itu terlahir dari kasih dan rahmat kepada kaum muslimin pada umumnya, agar tidak terkontaminasi oleh bid’ah dan tetap di atas kebenaran; sekaligus juga merupakan kasih dan rahmat kepada Ahl al-Bida’, agar mereka sadar dan berhenti dari kebid’ahan.
Sikap keras terhadap Ahl al-Bid’ah juga bukanlah hal yang dapat dilakukan secara serampangan, namun harus memperhitungkan aspek maslahat dan mudharat, sebagaimana dijelaskan secara gamblang oleh Syaikh Ibrahim ar-Ruhaili dalam Mauqif Ahl as-Sunnah wal Jama’ah min Ahl al-Ahwa` wal Bida’. Hukum asal dalam sikap antar sesama muslim adalah kasih sayang dan lemah lembut, sehingga sikap keras kepada Ahl al-Bid’ah, yang mayoritasnya masih muslim, merupakan pengecualian (istitsnā`) dari hukum asal, karena diharapkan adanya maslahat yang lebih besar dari sikap keras tersebut. Begitu pula dengan hukum asal kehormatan seorang muslim atas muslim lainnya, haram untuk dilanggar. Terlalu banyak dalil yang menegaskan universalitas hukum asal di atas. Karena itu, sikap keras kepada Ahl al-Bid’ah (setelah terbukti bahwa yang bersangkutan memang adalah Ahl al-Bid’ah) dan melanggar kehormatannya tidak dibenarkan kecuali apabila dengan hal tersebut terealisir kemaslahatan yang lebih besar.
Mungkin, dalam tataran teoritis, kita semua sepakat dengan penjelasan di atas. Namun, bagaimana dengan tataran implementatif dan aplikatif?
Dalam menyikapi banyaknya jama’ah-jama’ah yang ada saat ini, apabila semangat menyebarkan rahmat dan kasih sayang yang kita kedepankan, maka kita akan berusaha sebaik mungkin untuk mengajak manusia kepada kebenaran, dengan mempertimbangkan maslahat dan mudharat yang ada. Namun, apabila yang menjadi semangat dan latar belakang adalah bagaimana cara menghancurkan jama’ah tertentu, maka yang keluar dari kita adalah vonis dan celaan, tanpa memperhatikan komparasi antara maslahat dan mudharat di balik hal itu.
Saudara-saudara kita yang bersikap keras terhadap orang-orang yang menyelisihi mereka biasanya berdalil dengan sikap keras Nabi SAW dalam sebagian kasus terhadap orang-orang tertentu. Namun mereka tidak menyadari bahwa yang sikap yang dominan dalam diri Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam adalah kasih dan lemah lembut, meskipun terhadap orang-orang yang menyelisihi beliau. Mereka seharusnya mengintrospeksi diri, jika mereka mengaku meneladani Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam, maka sudahkah sifat kasih dan lemah lembut menjadi sikap serta karakter yang dominan dalam diri dan dakwah mereka? Kalaupun Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam bersikap keras maka hal itu bersifat kasuistik, bukan hal yang dominan, dan itu pun karena dalam sikap keras Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam terdapat maslahat yang besar.
Intinya, saya ingin mengajak saudara-saudaraku sekalian untuk menjadikan semangat menyebarkan kasih (rahmat) sebagai landasan dalam dakwah mereka, sebagaimana tujuan dari diutusnya Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam. Sekaligus juga mengajak saudara-saudara mereka untuk menerapkan hal serupa. Saya melihat, bahwa orang-orang yang berafiliasi kepada manhaj Salaf lebih didominasi dengan menasehati dan meluruskan orang-orang ‘di luar’ mereka, dibandingkan menasehati dan meluruskan ’sesama’ mereka dalam sebagian permasalahan yang merupakan cerminan dari kesalahan manhaj, seperti penggunaan sikap keras dalam dakwah bukan pada tempat dan kondisi yang semestinya, pemberian vonis atas individu tertentu dari orang-orang yang bukan ahlinya, fenonema fanatisme terhadap Ustadz tertentu, dan lain-lain.
Rasanya sudah saatnya kita melakukan konsolidasi dan perbaikan di kalangan internal. Sudah saatnya kita tunjukkan bahwa dakwah salaf adalah dakwah kasih (rahmat) bukan dakwah yang keras apalagi beringas.
Semoga Allah menjadikan kita termasuk al-ladzina yastami’unal qaula fa yattabi’una ahsanah (mereka yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti yang terbaik darinya) (QS. Az-Zumar: 18)
WaLlāhu a’lam bish shawab.